Pagi itu adalah pagi yang
cerah.Semuanya berpakaian putih dan bersih. Takbir hari raya telah berkumandang
dan menggema di penjuru kota. Setelah sembahyang hari raya,a ku, istriku,
anak-anakku, serta cucu-cucuku sudah
berkumpul di rumah tua yang pernah ditinggali ayah.
Ayah meninggal pada saat aku
masih duduk di kelas 3. Dia mengeorbankan nyawanya untuk menyelamatkanku. Aku
berhutang budi kepadanya, tapi apa dayanya jika doaku untuk ayah tidak akan
pernah sampai kepadaNya. Mengapa bisa begitu?
Ayah adalah seorang Belanda.
Bunda adalah seorang Jawa. Aku, bunda dan kedua adikku mempunyai kepercayaan
yang berbeda dengan ayahku. Ayah adalah seorang keturunan Yahudi. Karena itu,
agama yang dianutnya adalah Judaisme. Bunda datang dari keluarga priyayi
abangan. Bunda menganut agama Islam, tetapi tidak begitu melakukan syari’at
nya.
Meski begitu, aku dan kedua
adikku disekolahkan di pesantren Tebuireng, yang didirikan oleh seorang ulama
pendiri Nahdatul ‘Ulama, K.H. Hasyim Asy’ari. Disana, pendidikan agama sangat keras.
Untuk kenaikan tingkat, aku harus membaca beberapa kitab sampai khatam.
Bertahan disana sangat susah.
Karena warna kulit dan warna rambut yang sedikit berbeda dengan teman-temanku
disana, kerap kali aku dicela dan diolok-olok. Andai saja aku punya kulit yang
lebih gelap dan rambut yang lebih hitam, mungkin aku bisa lebih dihargai.
Pada suatu saat, saat sedang
sarapan, ada beberapa orang berambut pirang menunggu didepan gerbang rumah.
Mereka memakai seragam tentara ala Nazi dan membawa senjata. Kita semua telah
dikepung, dan bunda tidak ada di rumah.
No comments:
Post a Comment