Thursday, June 4, 2015

Wacana Narasi Sugestif - Deardaffa Arianugrah

Pagi itu adalah pagi yang cerah.Semuanya berpakaian putih dan bersih. Takbir hari raya telah berkumandang dan menggema di penjuru kota. Setelah sembahyang hari raya,a ku, istriku, anak-anakku, serta cucu-cucuku  sudah berkumpul di rumah tua yang pernah ditinggali ayah.
Ayah meninggal pada saat aku masih duduk di kelas 3. Dia mengeorbankan nyawanya untuk menyelamatkanku. Aku berhutang budi kepadanya, tapi apa dayanya jika doaku untuk ayah tidak akan pernah sampai kepadaNya. Mengapa bisa begitu?
Ayah adalah seorang Belanda. Bunda adalah seorang Jawa. Aku, bunda dan kedua adikku mempunyai kepercayaan yang berbeda dengan ayahku. Ayah adalah seorang keturunan Yahudi. Karena itu, agama yang dianutnya adalah Judaisme. Bunda datang dari keluarga priyayi abangan. Bunda menganut agama Islam, tetapi tidak begitu melakukan syari’at nya.
Meski begitu, aku dan kedua adikku disekolahkan di pesantren Tebuireng, yang didirikan oleh seorang ulama pendiri Nahdatul ‘Ulama, K.H. Hasyim Asy’ari. Disana, pendidikan agama sangat keras. Untuk kenaikan tingkat, aku harus membaca beberapa kitab sampai khatam.
Bertahan disana sangat susah. Karena warna kulit dan warna rambut yang sedikit berbeda dengan teman-temanku disana, kerap kali aku dicela dan diolok-olok. Andai saja aku punya kulit yang lebih gelap dan rambut yang lebih hitam, mungkin aku bisa lebih dihargai.
Pada suatu saat, saat sedang sarapan, ada beberapa orang berambut pirang menunggu didepan gerbang rumah. Mereka memakai seragam tentara ala Nazi dan membawa senjata. Kita semua telah dikepung, dan bunda tidak ada di rumah.


No comments:

Post a Comment